wiralodra.info - Mimi Rasinah, demikian sang nenek biasa dipanggil. Mimi adalah panggilan untuk ibu bagi masyarakat di Cirebon dan Indramayu, sedang untuk ayah disebut mama.
Dalam usianya yang renta Mimi Rasinah tetap bertekad untuk terus menarikan tarian topeng yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati, salah seorang wali songo, sebagai alat diplomasi dalam penyebaran agama Islam di wilayah Cirebon.
“Saya akan berhenti menari kalau sudah mati” itulah pancaran tekad dari penari legendaris yang tetap menari walau dalam kondisi fisik sakit. Baginya orang lain tidak perlu tahu jika ia sedang sakit.
Ya, Mimi Rasinah bukanlah seniman cengeng. Pendiri sekaligus pengasuh Sanggar Mulya Bhakti ini tidak pernah mengeluh dalam memperjuangkan jalan tarinya.
Mimi Rasinah lahir di dalam lingkungan keluarga seniman di Indramayu, Jawa Barat pada 3 Februari 1930. Ayahnya seorang dalang mengajarinya menari sejak berusia 5 tahun.
Bahkan, saat Mimi Rasinah baru menginjak usia 7 tahun ayahnya sudah menempanya dengan mengajak Rasinah cilik mengamen berkeliling, bebarang sebutannya.
Dalam menempuh jalan hidupnya Mimi Rasinah mengalami berbagai deraan berat yang bahkan sempat mematahkan semangatnya dalam melestarikan kesenian tari topeng Indramayu.
Pada masa penjajahan Jepang tari topeng yang dibawakannya dianggap sebagai aktivitas mata-mata. Maka kelompok tari yang dipimpin oleh Lastra, ayah Mimi Rasinah, pun dibekukan.
Bahkan pada masa agresi militer Belanda di tanah persada ini, dengan tuduhan yang sama seperti yang ditudingkan oleh tentara Bela Diri Jepang, ayah Mimi Rasinah ditembak mati tentara kolonial.
Mungkin menurut analisis intelijen kedua tentara penjajah tari topeng merupakan kedok yang digunakan petugas telik sandi tentara republik untuk memata-matai mereka.
Badai kembali menerpa hidupnya, gelombang Gestapu yang menerjang bangsa Indonesia di zaman orde lama telah menyudutkan tarian yang pertama kali dibawakan oleh Nyi Mas Gandasari pada tahun 1500-an ini sebagai tarian seronok yang hanya mengumbar syahwat. Dan tarian ini pun kembali dilarang untuk ditampilkan.
Setelah masa Gestapu usai ternyata cobaan hidup belum juga menjauhi Mimi Rasinah. Pada sekitar 1970 an kesenian yang diusungnya tidak mampu menghadapi gempuran kesenian tarling dan sandiwara Pantura, dan Mimi Rasinah beserta tari topengnya pun tersingkir.
Kebangkrutan pun membuatnya harus merelakan seluruh topeng beserta aksesorisnya dijual. Kemudian uang yang didapat ia gunakan untuk membangun kelompok sandiwara pantura.
Selanjutnya hidup Mimi Rasinah pun semakin menjauh dari takdirnya”. Ia kemudian melakoni beberapa pekerjaan mulai dari penabuh gamelan hingga pengasuh bayi.
Setelah 20 tahun berpisah dari “belahan jiwanya Baru pada 1994, Endo Suanda dan seorang rekannya sesama dosen di STSI Bandung, Toto Amsar Suanda, “menemukan kembali” Rasinah. Tarian topeng Kelana yang dipertunjukkan Rasinah membuat keduanya terpesona.
Aura magis yang ada, serta karakter yang berubah-ubah sesuai dengan karakter 8 topeng yang ada, dari mulai topeng panji sampai kelana, membuatnya terpesona.
Seketika itu juga semangat Rasinah untuk menari kembali bangkit, dan Rasinah mulai kembali berpentas baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Keseriusan Mimi Rasinah dalam menggeluti kesenian ini dibuktikan dengan mempertahankan tradisi tari ini, sehingga banyak yang menyebutnya klasik. Mimi Rasinah juga aktif mengajarkan tari topeng ke sekolah-sekolah yang ada di Indramayu.
Mimi Rasinah mampu menyulap kereyotan tubuhnya menjadi karakter yang tangkas, gesit, bahkan beringas. Ketakjuban pun merasuki dua penggiat tari tradisional asal Jawa Barat itu.
Keduanya pun menyadari jika Mimi Rasinah masih memiliki energi untuk menarikan tari topeng yang membutuhkan stamina prima, kemudian keduanya pun mendorong Mimi Rasinah untuk kembali melakoni jalan hidupnya, jalan tari topeng Indramayu.
Mau tahu apa yang diminta Mimi Rasinah kepada kedua tamunya itu? Mimi Rasinah hanya meminta uang Rp 150.000 untuk dibelikan gigi palsu yang akan digunakannya untuk menggigit topeng.
Sebagaimana kita ketahui topeng kayu tradisional dikenakan menutupi wajah dengan cara menggigit bagian yang menonjol yang ada di balik mulut topeng.
Itulah sekelumit kisah yang dituturkan Endo Suanda, master etnomusikologi lulusan Wesleyan University tentang permintaan Mimi Rasinah.
Dengan semangat berkesenian yang kembali menggelora Mimi Rasinah membuktikan bahwa usia bukanlah halangan baginya untuk melestarikan budaya bangsa. Undangan demi undangan dipenuhinya.
Sampai akhirnya dunia bagi warga desa Kandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu ini tidak lagi sebatas kota kelahirannya dan Jawa Barat saja, dunia panggungnya membentang hingga mancanegara setelah merentangkan selendang tarinya di negeri sakura Jepang hingga benua biru Eropa.
Usia lanjut yang terus menapak naik tidak mampu membendung pesona aura magis dari tarian topeng yang dibawakannya. Jika ditanya apa yang harus dijalani serta mantra apa yang harus diucapkan, penari topeng yang pantang makan sebelum pertunjukan usai ini hanya berseloroh, “mau bayar berapa?”
Namun sayang, di tengah pergulatannya dalam melestarikan tarian tradisional Mimi Rasinah terserang stroke setelah terjatuh saat ia mengambil air wudhu pada 2006 lalu.
Namun jiwa ketegaran yang dimatangkan oleh tempaan hidup terus menggerakannya untuk terus menari serta mewariskan ilmu tari yang dimilikinya kepada generasi penerus.
Stroke yang dideritanya tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap melangkah tegap di jalan hidupnya. Mimi Rasinah masih bersemangat mempertunjukkan kekayaan budaya nusantara kepada umat manusia.
Hal ini mengingatkan kita pada Sawitri yang juga maestro tari topeng asal Losari, Cirebon yang wafat sebelas tahun silam.
Keduanya, Mimi Rasinah dan Mimi Sawitri, walaupun sakit namun mereka tidak bisa menahan diri rebahan di atas pembaringan empuk apabila mendengar gamelan ditabuh. Jiwa seni mereka terus memantik saraf-saraf motoriknya untuk terus menari, walau hanya dalam posisi duduk.
Untuk menyambut hari kelahirannya yang ke-80 tahun, Aerli dan sang suami berinisiatif menggelar acara Tari Topeng Indramayu terakbar. Dalam perayaan hari ulang tahun itu, Mimi Rasinah masih mempersiapkan dirinya untuk tampil di atas panggung.
Acara tersebut diadakan di Indramayu, mereka yang tahu betul kehebatan Mimi Rasinah berduyun-duyun datang ke Indramayu. Sejumlah penari kelas atas juga hadir seperti Didik Nini Thowok, penari dari IKJ, UNJ, dan anak-anak sanggar tari milik Mimi.
Perayaan ini dibuka dengan penari-penari tamu dari luar Indramayu. Pada saat tarian utama, Topeng Kelana, Mimi Rasinah dibopong untuk ke panggung dengan perlengkapan tari sempurna. Meski hanya bagian tubuh sebelah kanan yang bisa digerakkannya, ia tetap meliukkan tangannya.
Hampir 50 penari topeng Indramayu cilik memagarinya dan prosesi ini sangat mengharukan. Namun semangat Mimi Rasinah sangat membara.
Tak ayal hal ini membuat suasana sangat melankolis dan hampir semua tamu yang hadir meneteskan air mata saat Mimi Rasinah memberikan Topeng Kelana, topeng kebanggannya selama ini pada cucunya, Aerli Rasinah.
Banyak orang besar pergi dengan isyarat tertentu, demikian juga dengan Mimi. Rabu 4 Agustus 2010 lalu dalam kondisi separuh badan mati akibat rongrongan stroke Mimi memenuhi undangan menari yang di gelar di Bentara Budaya Jakarta.
Pada acara pentas seni dan pameran bertajuk Indramayu Dari Dekat ini Mimi Rasinah datang beserta keluarga dan kelompok tarinya.
Dengan cara dibopong Mimi Rasinah naik ke atas panggung. Aura magisnya menyihir ratusan penonton saat ia memperagakan Tari Panji Rogo Sukmo.
Semua terkesima dan takjub menyaksikan. Sebagian penonton, bahkan, merasakan atmosfer kebesarannya saat sang legenda dibopong naik ke atas panggung.
Dalam tarian yang merupakan puncak dari segala tarian topeng Indramayu tersebut Mimi duduk dengan nyaman, sementara Airli, cucu sekaligus pewarisnya, berdiri kokoh.
Saat menarikan tari topeng ini penari dituntut mampu mengolah jiwa dengan menahan segala gerak tubuh. Dalam tarian yang sarat makna spiritual ini Mimi Rasinah menari dalam diam. Diam yang sebenar-benarnya diam.
Dan, tidak ada yang menduga jika tarian yang dipertunjukkan tersebut merupakan persembahan terakhir dari sang maestro. Tidak akan pernah lagi kita dapat menyaksikan kegemulaian hingga keberingasan Mimi lagi.
Pada 7 Agustus 2010 Nenek Rasinah telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Penari Rasinah telah benar-benar “diam”.Ya, sukma Mimi Rasinah telah meninggalkan jasad rentanya.
Mimi Rasinah khawatir, bahkan takut, jika generasi penerus negeri ini tidak lagi melanjutkan perjuangannya.Yang mereka butuhkan hanya generasi muda yang mempertahankan kejayaan bangsa, termasuk budayanya.
Dapatkan berita terbaru terkini dan viral 2024, trending terbaru, serta terpopuler hari ini dari media online wiralodra.info melalui platform Google News.