Oleh. : Adlan Daie
Pemerhati politik elektoral dan sosial keagamaan.
Penulis memahami "kegelisahan" KH. Imam Jazuli, kiai muda dengan jejaring internasional sangat kuat (Al Azhar, Mesir), pengasuh pondok pesantren (berbintang) "Bina Insan Mulia" di kaki gunung Ciremai Cerebon Jawa Barat terkait hubungan NU struktural dibawah ketua umum Gus Yahya dengan PKB akhir akhir ini hingga beliau sampai pada gagasan untuk memotori gerakan kultural "ngaku NU wajib PKB". Menurutnya " kalau ngaku cinta NU,.ya otomatis wajib cinta PKB. Ngaku NU tapi tidak ber- PKB, ya dipertanyakan ke NU an nya, paling tidak ya seperti emas hanya 15 karat", ujarnya (Tribunnews, 2/2/2022).
Pandangan politik KH. Imam Jazuli, alumni pesantren berkultur kuat NU, Lirboyo, Kediri di atas dalam kapasitas bukan pengurus NU maupun bukan pengurus PKB tergolong sangat berani dan mungkin kontroversial bagi sebagian elite NU. Tapi inilah cara kultural KH. Imam Jazuli untuk menghindarkan pelemahan PKB yang menurutnya justru pelemahan kekuatan politik NU sendiri. Sebuah gerakan antitesis KH. Imam Jazuli atas kecenderungan PBNU hari ini yang terang terangan memposisikan NU "netral" dari partai politik manapun dan oleh sejumlah media maintrim sengaja di framing secara sistemik untuk memisahkan NU dari PKB dalam persepsi publik.
Tentu tidak mudah merumuskan sasaran gerakan kultural NU ala KH. Imam Jazuli di atas. Selama ini definisi dan kategori NU disederhanakan menjadi "NU struktural" (baca: pengurus ) dan "NU kultural" dengan varian tambahan "NU followers" (pengikut NU) dan "warga NU" atau "NU citizenship". Hasil survey tentang jumlah warga NU pun berbeda satu sama lain, misalnya dalam survey LSI Deni JA Warga NU sebesar 37% (2019) dan Alvara institute sebesar 59% dari populasi muslim di Indonesia termasuk hasil survey lembaga lain sangat variatif hasilnya.
Hasil penelitian Clifford Gerzt (1956) tentang varian pemilih di Jawa dan hasil survey Amin Mudzakkir, penelitii LIPI (2018) tentang pemilih muslim di Jawa Barat variabel warga NU dengan parameter sekedar pengamalan tradisi "slametan", tahllil dan tradisi ibadah ala NU lalu diklaim oleh pengurus NU sebagai basis massa besar "warga NU" bukan varian pemilih partai NU (1955) dan PKB hari ini melainkan rumpun pemilih "abangan" Jawa (partai nasionalis) dan Islam Sunda di Jawa Barat dengan imajinasi DI/DII (meskipun bersifat kultural lahiriyah) kecuali secara demografis mereka secara sosial bagian dari basis jaringan pesantren NU
Rumpun pemilih dengan basis sosial pesantren NU inilah sasaran gerakan "cinta NU cinta PKB". Meskipun tidak mudah ditundukkan pilihan politiknya bahkan oleh pengurus NU sekalipun tapi relatif lebih mudah "nyambung" afiliasi kultural pilihannya. Dengan kata lain jika gerakan kultural NU diatas diarahkan pada basis sosial jaringan pesantren NU yang adaptif dengan pola transformasi sosial kekinian secara demografis maka tidak mustahil dan rasional pkb di pileg 2024 bisa naik meraih 18% suara sama dg raihan partai nu thn 1955. Artinya pkb baik dua kali lipat dari.raihan pkb 2019 sebesar 9, 62%.
Dalam perspektif penulis gagasan KH. Imam Jazuli di atas bukan sekadar layak untuk diapresiasi, lebih dari itu, harus didukung pola gerakannya oleh siapa pun yg "mengaku nu" kultural. Kesediaan KH. Imam Jazuli dengan modalitas sosial kulturalnya yang sangat memadai untuk memotori gerakan."Cinta NU cinta PKB" tanpa pretensi kepentingan politik personal sesungguhnya jalan merawat martabat politik NU melalui alat politik praktisnya, yakni PKB.
Di luar PKB tidak ada partai politik lain manapun yang fasih mewakili "gestur" (cara berfikir dan bertindak) kekuatan politik NU kecuali tukar tambah pragmatisme politik secara artifisial.
Wassalam. (*)
Dapatkan berita terbaru terkini dan viral 2024, trending terbaru, serta terpopuler hari ini dari media online wiralodra.info melalui platform Google News.