Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
Siapa yang disebut "santri" dalam konstruksi sosial masyarakat Indonesia? Apa makna "santri" dalam konteks pengakuan negara pasca ditetapkannya Hari Santri Nasional (HSN) dalam keputusan Presiden (Keppres) no 22 tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional (HSN) ? Dan bagaimana kita membaca implikasi sosial politiknya dalam konteks meneguhkan "keindonesiaan" kita?
Santri adalah "orang Islam Indonesia yang cinta tanah air, cinta NKRI". Sebuah definisi baru tentang santri yang dikonstruksi Gus mus (KH.Mustofa Bisri), Mustasyar PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul.Ulama) dalam.konteks memaknai pengakuan negara tentang penetapan Hari Santri Nasional (HSN) di atas. Artinya, keislaman dan kebangsaan "melebur" dalam satu tarikan nafas santri dalam "keindonesiaan".
Dalam sejarah literasi sosial politik di Inndonesia "santri" memiliki varian makna dan definisi yang beragam. Secara lahiriyah "santri" identik dengan cara berpakaian sarung dan kopiah hitam. Orang luar menyeburnya "khas NU banget". Cara pandang ini merujuk pada tradisi "santri" sebagai salah satu elemen penting pesantrren NU sebagaimana ditulis dalam disertasi Dr. Zamakhsyari Dhofir yang diterbitkan dalam buku berjudul "Tradisi Pesantren" (1982).
Clifford Gezt dalam penelitiannya tahun 1956 di Jawa Timur yang diterbitkan dalam buku "The Religion Off Java" dan dialihbahasakan oleh Aswab Mahasin dalam judul buku "Santri, Priyayi dan Abangan" mengkonstruksi makna santri dalam perspektif varian afiliasi.politik. Di sini Cliiford Gezt memaknai "santri" adalah varian pemilih partai partai Islam "dikontraskan" dengan varian sosial "abangan" dan "priyayi", yakni loyalis pemilih partai partai Nasionalis.
Lebih jauh dalam.buku "Runtuhnya Politik Santri (1991), ditulis Prof. Abdul Munir Mulkhan, makna santri dibedah dalam dua kategori yakni "santri" tradisional mengacu pada produks sosial pesantren NU dan "santri" dalam pengertian aktivis pergerakan Islam modern non pesantren. Dari sini dapat dibaca kelompok sosial "santri" sebagai pemilih partai NU (kini PKB) dan pemilih partai Masyumi, PSII Perti dll (kini bertansformasi ke PKS, PAN dan sebagian PPP).
Konstruksi definisi santri dalam perspektif Gus mus di atas bahwa santri adalah "orang islam indonesia yang cinta tanah air, cinta NKRI" mengirim pesan kepada kita bahwa tidak relevan lagi "santri" dikontraskan versus "nasionalis" sebagaimana pengelompokan politik di atas hingga saat ini. Di sini peringatan Hari Santri Naaional (HSN) tidak perlu dimaknai dalam benruk "penegasan identitas kelompok" secara berlebihan dan "superior" di atas kelompok sosial lain.
Penegesan "superioritas" kelompok justru "mendegrasi" makna santri dalam definisi Gusmus di atas bahwa "santri" adalah corak keislaman yang menyatu dalam semangat integrasi mengokohkan "Persatuan Indonesia".Dalam konteks ini relevan cara pandang Gus Yahya, ketua umum PBNU bahwa NU tidak memadai lagi dihayati sebagai semangat kelompok sosial secara segmentatif melainkan jalan peradaban dalam semangat keindonesian yang berkeadaban.
Itulah pesan "terdalam" dari Resolusi jihad (1945), "hubbul wathon minal iman" yang digelorakan KH. Hasyim Asy ari, Rois Akbar NU dan menjadi inspirasi historis dari penetapan HSN. Maka Ke sanalah peringatan Hari Santri.Nasional (HSN) dimaknai secara subatansial dan inilah sejatinya "amal.jariyah" NU untuk bangsa Indonesia.
Selamat hari santri nasional 2022.
Wassalam. (*)
Dapatkan berita terbaru terkini dan viral 2024, trending terbaru, serta terpopuler hari ini dari media online wiralodra.info melalui platform Google News.